fatalisme filsafat
FATALISME FILSAFAT. Saya bukah ahli filsafat, belajar filsafatpun tidak atau sekedar secara sengaja menggemari filsafatpun tidak, namun secara tidak sengaja sebenarnya semua manusia sering tidak sadar sedang berfilsafat. Pergulatan bathin dan fikiran manusia terhadap sesuatu sebetulnya merupakan bentuk dari filsafat itu sendiri.
Filsafat adalah bentuk olah fikir manusia dan ini tentu saja merupakan nilai positif dari rasa syukur kita atas karunia Allah dengan pemberian akal budi kepada manusia yang menjadi garis pembatas tegas yang membedakannya dengan mahkluk Allah lainnya. Manusia menggunakan akal fikirannya untuk memahami alam sekitar dan apa yang sedang terjadi terhadap dirinya. Suatu bentuk ikhtiar untuk tidak diam dan menunggu nasib. Sebuah ironi ketika filsafat mulai mempertanyakan Dzat Allah, kesejatian Tuhan, yang terjadi adalah bentuk kepasrahan, ketidakberdayaan yang secara sefihak dijadikan kesimpulan karena keterbatasan olah fikirnya sendiri, sebuah fatalisme.

Jadi apa sebenarnya filsafat itu? apakah dia merupakan bentuk olah fikir yang bebas tanpa kendali? semuanya tergantung dari pribadi masing-masing. Namun dalam hal ini sebaiknya semua orang menyadari ada hal-hal yang perlu dibatasi dalam pemahaman kita mengenai apa itu filsafat. Adakalanya terbukti banyak orang yang mengagung-agungkan filsafat justru berubah menjadi kaum fasik dan ingkar. Filsafat bisa membuat sesuatu yang ada menjadi tidak ada, dan yang tidak ada menjadi ada, akhirnya yang pintar menjadi dungu dan yang dungu menjadi tambah dungu.

Seperti kita ketahui proses filsafat adalah proses berfikir melalui argumen-argumen yang terkadang tidak memiliki pijakan ilmu, melainkan hanya nalar manusia yang ditonjolkan. Sehingga seringkali para filosof terjebak kepada argumen meduga-duga jauh dari kesimpulan yang dapat dipercaya. Bahkan, ada orang yang merasa bangga bila terlihat seperti seorang filosof. Sehingga, ia merasa senang bila orang melihatnya sebagai orang yang selalu berolah fikir, sehingga merasa hebat ketika bisa menjadi seolah-olah sebagai penyelesai masalah atau debat dalam sebuah ruang diskusi dan seminar-seminar. Memang itu yang diharapkaan dari seorang filosof, ia harus mampu menyelesaikan masalah yang terlalu berbelit-belit dan menjadi perdebatan. Dan tentu saja harus dengan argumen yang logis sesuai dengan akal fikir. Namun ketika filsafat sudah menyentuh terhadap eksistensi keberadaan Tuhan, tidak jarang para filosof terjebak pengingkarannya terhadap kesejatian Tuhan dan akhirnya menjadikannya seorang atheis, kalau sampai demikian yang terjadi justru sebenarnya mereka sedang mengikari keberadaan berfikir logis itu sendiri.

Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan tentang logika sederhana tentang kolong meja, apakah kolong meja itu ada, maka tentu saja kita akan jawab bahwa kolong meja itu ada, akan tetapi jika mejanya kita ambil dimana kolong meja itu sekarang? kenapa menjadi tidak ada? sebenarnya kolong meja itu tetap ada, ia hanya berpindah tempat saja bukan? sementara difihak lain tetap beranggapan bahwa kolong meja itu tetap tidak ada, karena ia hanya sebuah ruang hampa, ia hanya ada ketika ada benda ciptaan yang membentuknya menjadi sebuah kolong. Seperti halnya kolong jembatan hanya ada ketika ada benda ciptaan berupa jembatan yang memberikannya ruang yang disebut kolong jembatan, kolong tangga, kolong tempat tidur dan sebagainya, terserah benda apa kita mengisinya agar kolong tersebut bermanfaat. Jika kita lebarkan lagi bagaimana dengan kolong langit? bagaimana kolong langit itu ada? tentu saja kolong langit itu ada, karena ada benda-benda tatasurya/ planet-planet yang membentuknya, lantas siapa yang membuat tatasurya yang berisi planet-planet tersebut? tentu saja Tuhan bukan? adakah mahkluk lain yang mampu menciptakan tatasurya beserta seluruh isinya? ataukah tatasurya itu terbentuk hanya karena sebuah proses fisika dan kimia alam saja? seperti halnya kita membakar sebatang rokok menjadi asap dan abu? bukankah proses sederhana ini ada yang membuatnya juga yaitu kita sendiri sebagai perokok? Nah tentu saja proses alam itu sendiri ada yang membuatnya bukan? Siapa? jika kita waras tentu saja kita sudah tahu jawabannya, Tuhan Allah sang maha pencipta.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran[3]:190-191).

Katakanlah:Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Yunus[10]:101) .

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Q.S. Shaad[38]:27) .

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-sekali engkau berfikir tentang Dzat Allah ” [Hadits hasan, Silsilah al Ahaadiits ash Shahiihah]

Kata dzat yang disandarkan pada Allah kita jumpai pada sabda Nabi saw diatas, “Tafakkaruu fi khalkillah walaa tafakkarua fi dzatihi” atau "Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, tapi jangan berpikir mengenai Dzat-Nya." (atau dzat Sang Pencipta).

Sabda beliau ini menyiratkan bahwa berfikir tentang ciptaan Allah, walau bagaimanapun, akan menyadarkan kita bahwa Allah itu ada, dan eksistensi-Nya sangat nyata. Namun Rasulullah saw juga mengingatkan; cukuplah sampai di situ saja! Jangan coba-coba untuk berpikir lebih jauh, misalnya tentang bagaimana kira-kira Dzat Allah, atau sosok Allah itu sendiri.

Filsafat adalah merupakan usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang bersifat menyeluruh tentang keberadaan manusia, alam, dan Tuhan untuk sampai kepada hal yang sangat mendasar, bedanya dengan ilmu pengetahuan adalah filsafat tidak menggunakan dasar secara empiris sedangkan ilmu pengetahuan menggunakan data yang empiris(berdasarkan pengalaman). Filsafat yang tidak terkendali ujung-ujungnya hanya akan mempertanyakan keberadaan Tuhan itu sendiri, sehingga akan timbul pertanyaan "Apakah benar Tuhan itu ada?" "Apakah benar Tuhan itu yang menciptakan?" dll. Sehingga dari pertanyaan "Apakah Tuhan itu ada?" maka mulailah mereka membuat argumen yang dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Akan tetapi justru tidak jarang justru para filosof malah menjadi ateis(Tidak bertuhan) karena mereka tidak menemukan argumen, jawaban serta kesimpulan yang mebuatnya yakin untuk membuktikan keberadaan Tuhan karena keterbatasan ilmu tanpa di dasari oleh ahklaq yang membentuknya. Mereka berada di dalam posisi keragu-raguan, atau justru merasa yakin dengan pendapatnya melalui olah fikir dari otaknya saja yang memang terbatas. Karena jelas manusia hanya diberi oleh Tuhan sedikit ilmu saja, bahkan merekapun tidak akan pernah tahu berapa jumlah bulu dihidungnya bukan?. Bila digambarkan dengan jari yang kita celupkan pada air lautan, maka air yang tersisa di jari telunjuk itulah ilmu kita. Sifat Allah adalah mutlak (absolute). Tidak mungkin dibatasi oleh apa pun, apalagi oleh alam pikiran manusia. Sementara sifat manusia sendiri serba sangat terbatas. Tak perlu disebutkasn, Anda pasti sudah tahu siapa filosof-filosof dunia pencipta segala isme-isme yang ujung-ujungnya menjadi atheis.

Seperti halnya baginda Nabi saw sudah memperingatkan, kesimpulannya bila kita tidak memiliki ilmu yang cukup dan seberapapun ilmu yang kita miliki, janganlah terjebak dengan filsafat yang berlebihan seperti adik-adik kita di kampus IAIN (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung yang ganteng-ganteng dan berasa paling keren ini, hingga dengan berapi-api mempelesetkan kalimat "ALLAHU AKBAR" menjadi "ajinghu akbar"... sebuah contoh video lama yang membuat kita miris melihatnya, semoga Allah mengampuni mereka. Namun demikian, tidak sedikit para filosof adalah orang-orang yang religius. Para filosof ini telah memiliki iman yang kuat akan keberadaan Tuhan. Sehingga, tidak goyang ketika ditanyakan hal-hal ghaib yang ilmunya memang hanya Tuhan yang tahu, dan ia mampu memberikan penjelasan-penjelasan logis sejalan dengan olah fikir tentang keberadaanNya.


Fenomena inilah mengapa sungguh penting menanamkan nilai-nilai keagamaan sejak usia dini. Potensi nilai-nilai ketuhanan tersebut tergambar jelas dalam sabda Nabi Saw, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanya lah yang membuat mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi...." Hadis tersebut menegaskan pula pentingnya peran orang tua untuk mengarahkan fitrah. Dengan demikian menanamkan nilai-nilai agama pada usia dini sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan anak Hal ini akan memberikan akar yang kuat dihati seseorang tentang eksistensi keberadaan Tuhan. Penanaman sebuah nilai ketika seseorang masih berumur balita akan sangat sulit untuk menggoyahkannya.
Share :
PreviousPost
NextPost

Author:

0 Comments:

Rekomendasi